by : Eva Y
STKIP Garut
A. Judul
Perbandingan prestasi belajar siswa antara siswa yang menggunakan model pembelajaran three step interview dengan siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional.
B. Latar Belakang Masalah
“Pendidikan” merupakan satu kata yang sudah tidak asing lagi, bukan hanya bagi kalangan orang-orang yang secara langsung berkecimpung di dunia pendidikan saja akan tetapi bagi masyarakat awam pula. Pendidikan termasuk salah satu hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, setiap manusia memerlukan pendidikan karena pendidikan pulalah yang menjadi salah satu faktor yang dapat membedakan manusia dari makhluk lainnya. Berkaitan dengan hal ini, U. Tirtarahardja, dan La Sulo, (2005:1) menyatakan bahwa “Sasaran pendidikan adalah manusia. Pendidikan bermaksud membantu peserta didik untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi kemanusiaannya. Potensi kemanusiaan merupakan benih kemungkinan untuk menjadi manusia.” Dan menurut Sujana (dalam Ujang, 2006:82) ‘Pendidikan merupakan suatu upaya manusia untuk memanusiakan manusia’. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan hal yang sangat essensial bagi kehidupan manusia.
Pendidikan terdiri dari dua jenis yaitu pendidikan formal dan pendidikan non formal. Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar Nasional Pendidikan, tepatnya pada pasal 1 dinyatakan bahwa “…Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang…”.
Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan formal mempunyai tanggung jawab untuk mendidik siswa. Untuk itu sekolah menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar sebagai realisasi tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Berbagai mata pelajaran pun diajarkan di sekolah, salah satunya adalah mata pelajaran matematika. “Matematika bahkan merupakan mata pelajaran yang telah diberikan sejak Sekolah Dasar (SD) dengan tujuan untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama.” (Hernawati, 2007:13).
Kemudian berkaitan dengan pembelajaran matematika di sekolah, Ruseffendi (dalam Sudrajat, 2004:2) menyatakan bahwa ‘guru hendaknya dapat menciptakan kondisi pembelajaran yang dapat membentuk pribadi siswa sehingga mempunyai keterampilan yang baik dalam bekerja sama, mempunyai keberanian dan keterandalan dalam berkompetisi disamping mempunyai kemampuan matematika.’
Berkaitan dengan pernyataan di atas bahwa disamping agar memiliki kemampuan matematika siswa diharapkan pula memiliki keterampilan yang baik dalam bekerja sama. Sehingga untuk mewujudkan hal tersebut sangatlah penting jika dalam pelaksanaannya guru harus menerapkan berbagai model pembelajaran yang sesuai. Namun, selama ini model pembelajaran yang sering digunakan dalam pembelajaran matematika adalah model pembelajaran konvensional.
Pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran konvensional cenderung meminimalkan keterlibatan siswa sehingga guru nampak lebih aktif. Kebiasaan bersikap pasif dalam pembelajaran dapat mengakibatkan sebagian besar siswa takut dan malu bertanya pada guru mengenai materi yang kurang dipahami. Suasana belajar di kelas menjadi sangat monoton dan kurang menarik. (Hesti, 2007:1).
Selain itu, siswa lebih cenderung belajar individual karena tidak banyak memiliki kesempatan bekerja sama dengan temannya yang lain pada saat proses belajar mengajar berlangsung. Oleh karena itu, agar kegiatan belajar mengajar matematika ini berlangsung lebih efektif dan dapat mencapai tujuan sebagaimana yang telah dinyatakan di atas maka tidak ada salahnya jika guru menerapkan model pembelajaran yang lain yang dianggap sesuai untuk materi yang diajarkan. Salah satunya adalah model pembelajaran kooperatif. Hartati (dalam Sudrajat, 2004:2) menjelaskan bahwa ‘dalam pembelajaran kooperatif siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka saling mendiskusikan konsep-konsep itu dengan temannya’. Menurut Lie (2002) “pembelajaran kooperatif adalah sistem pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat saling bekerja sama dalam tugas yang berstruktur”. Hal ini sesuai dengan teori vygotsky yang menyatakan bahwa siswa akan lebih cepat belajar jika mendapat bantuan dari orang-orang sekitarnya. Bantuan dari orang sekitarnya ini dapat pula berupa bantuan dari teman sebayanya, yaitu dengan saling bekerja sama dan saling berbagi mengenai masalah berikut penyelesaian dari materi yang sedang dipelajari. Menurut Depdiknas (dalam Diana, dkk, 2004:103) ‘kecakapan bekerja sama perlu dilatihkan pada siswa karena dengan dimilikinya kecakapan kerja sama yang disertai saling pengertian, saling menghargai, dan saling membantu, siswa akan mampu untuk membangun semangat komunitas yang harmonis’.
Adapun salah satu model pembelajaran yang termasuk kedalam model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran three step interview. Menurut Kagan (dalam Diana dkk, 2004:104) ‘pembelajaran kooperatif tipe three step interview merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang cukup sederhana, dan dapat dilatihkan kepada siswa yang belum terbiasa mengikuti pembelajaran kooperatif’. Menurut Guilford “three step interview is an effective way to encourage students to share their thinking, ask questions, and take”. Atau three step interview adalah sebuah cara yang efektive untuk mendorong siswa agar dapat saling berbagi pemikiran mereka, mengajukan pertanyaan, dan menerima masukan. Menurut Kagan (dalam Diana dkk, 2004:104):
Pada pembelajaran kooeratif tipe three step interiew setiap siswa diberi kesempatan untuk saling berinteraksi dengan saling mewawancarai secara langsung dan menyampaikan kembali hasil wawancaranya serta dituntut untuk saling bertanggung jawab terhadap tugas yang diembannya sebagai salah satu pendukung keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran.
Model pembelajaran three step interview merupakan model pembelajaran yang belum terlalu sering diperbincangkan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan masih sedikitnya penelitian yang berkaitan dengan model pembelejaran ini, baik penelitian terhadap pengaruh, keefektivan, maupun perbandingan model pembelajaran ini dengan model pembelajaran lain, khususnya dalam mata pelajaran matematika.
Oleh karena itu, berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan di atas maka penulis tertarik untuk meneliti mengenai “Perbandingan Prestasi Belajar Siswa antara Siswa yang Menggunakan Model Pembelajaran Three Step Interview dengan Siswa yang Menggunakan Model Pembelajaran Konvensional”
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
“Apakah terdapat perbedaan prestasi belajar siswa antara siswa yang menggunakan model pembelajaran three step interview dengan siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional?”
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa antara siswa yang menggunakan model pembelajaran three step interview dengan siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional.
E. Hipotesis
Dalam penelitian ini penulis mengajukan hipotesis “terdapat perbedaan prestasi belajar siswa antara siswa yang menggunakan model pembelajaran three step interiew dengan siswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional”
F. Tinjauan Pustaka
1.Belajar
Istilah belajar memang sudah terlalu akrab dengan kehidupan kita sehari-hari. Seringkali kita menjumpai penggunaan istilah belajar seperti: belajar berenang, belajar silat, belajar berjalan, belajar menghitung, belajar membaca, dan sebagainya. Masih banyak lagi pengunaan istilah belajar ini, bahkan termasuk pada kegiatan belajar yang sifatnya lebih umum dan tak mudah pula untuk diamati, seperti : belajar bersabar, belajar mandiri, belajar bermasyarakat, belajar berorganisasi, dan sebagainya. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan belajar?
Terdapat beraneka ragam rumusan pengertian tentang belajar. Rumusan itu sendiri bergantung pada sudut pandang perumusnya. Menurut Muhibbin Syah (1995:88):
Sebagian orang beranggapan bahwa belajar adalah semata-mata mengumpulkan informasi/materi pelajaran. Orang yang beranggapan demikian biasanya akan segera merasa bangga ketika anak-anaknya telah mampu menyebutkan kembali secara lisan (verbal) sebagian besar informasi yang terdapat dalam buku teks atau yang diajarkan oleh guru. Disamping itu, ada pula sebagian orang yang memandang belajar sebagai latihan belaka seperti yang tampak pada latihan membaca dan menulis. Berdasarkan persepsi semacam ini biasanya mereka akan merasa cukup puas bila anak-anak mereka telah mampu memperlihatkan keterampilan jasmaniah tertentu walaupun tanpa pengetahuan mengenai arti, hakikat, dan tujuan keterampilan tersebut.
Dari pendapat tersebut dapat kita pahami bahwa pengertian seseorang mengenai “belajar” adalah memang tergantung dari sudut pandang mana kita mengartikan belajar tersebut.
Banyak para ahli yang mengemukakan pendapat mengenai belajar, diantaranya adalah Oemar (2002:45) dalam bukunya yang berjudul ‘Psikologi Belajar dan Mengajar’, menurutnya belajar mengandung pengertian “Terjadinya perubahan dari persepsi dan perilaku, termasuk juga perbaikan perilaku, misalnya pemuasan kebutuhan masyarakat dan pribadi secara lebih lengkap”. Kemudian Hilgard dan Brower (dalam Oemar, 22:45) mendefinisikan ‘Belajar sebagai perubahan dalam perbuatan melalui aktivitas, praktek, dan pengalaman’. Adapun menurut A.S. Makmun, (dalam STKIP, 2006:2) mendefinisikan ‘Belajar sebagai suatu proses perubahan perilaku seseorang atau individu berdasarkan praktek atau pengalaman tertentu’. Sedangkan M. Syah dalam bukunya ‘Psikologi Pendidikan’ (1995:91) mengungkapkan bahwa “Belajar dapat dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif.” Kemudian menurut James O. Whittaker (dalam Joe: 2009) ‘Belajar adalah proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman’. Sedangkan menurut Winkel (dalam A. Muhamad :2008) ‘Belajar adalah aktivitas mental atau psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai dan sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif konstan dan berbekas’.
Dengan demikian dari beberapa pengertian mengenai belajar di atas secara garis besar dapat ditarik kesimpulan bahwa seluruh pengertian tersebut sama-sama mendefinisikan bahwa belajar adalah sebagai suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan dari individu, adapun perubahan tersebut merupakan perubahan tingkah laku yang tidak dipengaruhi oleh adanya proses pertumbuhan ataupun kematangan melainkan dipengaruhi oleh pengalaman dan interaksi individu tersebut dengan lingkungannya. Menurut M. Syah (2008:92) “perubahan tingkah laku yang timbul akibat proses kematangan, keadaan gila, mabuk, lelah, dan jenuh tidak dapat dipandang sebagai proses belajar.” Hal tersebut dikatakan demikian karena perubahan tingkah laku yang diakibatkan oleh proses belajar adalah harus bersifat tetap atau tidak sementara.
Menurut Slameto (dalam A. Muhamad : 2008) mengatakan bahwa ciri perubahan tingkah laku dalam belajar adalah sebagai berikut : ‘a) Perubahan terjadi secara sadar; b) Perubahan dalam belajar bersifat kontinue dan fungsional; c) Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif; d) Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara; e) Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah; dan f) Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku.’
Kemudian secara lebih lengkap M. Surya (1997: 10) dalam bukunya yang berjudul ‘Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran’ menjelaskan bahwa perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a) Perubahan yang disadari, artinya individu yang melakukan proses belajar menyadari bahwa pengetahuannya telah bertambah, keterampilannya telah bertambah, ia lebih yakin terhadap dirinya, dan sebagainya. Jadi, orang yang berubah tingkah lakunya karena mabuk, tidak termasuk kedalam pengertian perubahan karena pembelajaran, sebab yang bersangkutan tidak menyadari apa yang terjadi dalam dirinya.
b) Perubahan yang bersifat kontinu (berkesinambungan). Perubahan tingkah laku sebagai hasil pembelajaran akan berlangsung secara berkesinambungan, artinya sebuah perubahan yang telah terjadi, menyebabkan terjadinya perubahan tingkah laku yang lain. Misalnya seorang anak yang telah belajar membaca, ia akan berubah tingkah lakunya dari tidak dapat membaca menjadi dapat membaca. Kecakapannya dalam membaca menyebabkan ia dapat membaca lebih baik lagi dan dapat belajar yang lain, sehingga ia dapat memperoleh perubahan tingkah laku hasil belajar yang lebih banyak dan lebih luas.
c) Perubahan yang bersifat fungsional, artinya perubahan yang telah diperoleh sebagai hasil pembelajaran memberikan manfaat bagi individu yang bersangkutan.
d) Perubahan yang bersifat positif, artinya terjadi adanya pertambahan perubahan dalam diri individu. Perubahan yang diperoleh itu senantiasa bertambah sehingga berbeda dengan keadaan sebelumnya. Orang yang telah belajar akan merasakan sesuatu yang lebih banyak, sesuatu yang lebih baik, sesuatu yang lebih luas dalam dirinya. Misalnya ilmunya menjadi lebih banyak, prestasinya meningkat, kecakapannya menjadi lebih baik, dan sebagainya.
e) Perubahan yang bersifat aktif, artinya perubahan itu tidak terjadi dengan sendirinya akan tetapi melalui aktivitas individu.
f) Perubahan yang bersifat permanen (menetap), artinya perubahan yang terjadi sebagai hasil pembelajaran akan berada secara kekal dalam diri individu, setidak-tidaknya untuk masa tertentu.
g) Perubahan yang bertujuan dan terarah, artinya perubahan itu terjadi karena ada sesuatu yang akan dicapai. Dalam proses belajar, semua aktivitas terarah kepada pencapaian suatu tujuan tertentu.
Jadi, tidak semua perubahan tingkah laku yang terjadi pada diri seseorang dapat dikatakan sebagai belajar. Misalnya perubahan yang terjadi akibat pengaruh kematangan, hal ini tidak dapat dikategorikan belajar sebab menurut M. Surya (1997:11) “perubahan yang terjadi karena kematangan, bukan hasil belajar, karena hal tersebut terjadi dengan sendirinya sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangannya. Dalam kematangan, perubahan ini akan terjadi dengan sendirinya meskipun tidak ada usaha pembelajaran”. Begitu pula jika ada orang yang sakit lalu mengalami kelumpuhan. Walaupun mungkin ia merubah tingkah lakunya tapi hal ini tidak dapat dikatakan belajar sebab sakit bukan merupakan perubahan yang terjadi akibat suatu proses belajar, hanya saja perubahan yang dilakukan oleh orang tersebut adalah sebuah sikap penyesuaian terhadap apa yang dialaminya.
Selain itu, tidak semua perubahan tingkah laku sebagai hasil proses belajar dapat dikategorikan baik. Misalnya proses belajar yang dilakukan oleh pencopet. Ternyata ia belajar kepada pencopet lain yang lebih mahir dalam melakukan kejahatan ini, kemudian setelah beberapa lama akhirnya ia pun menjadi lebih mahir dalam melakukan aksinya ini, yaitu mencopet. Meskipun pada dirinya memang terjadi suatu perubahan, akan tetapi dari segi sosial ini bukanlah belajar kearah yang lebih baik, namun kearah sebaliknya yaitu lebih buruk.
2. Prestasi Belajar
Jika kita membicarakan mengenai belajar, tentu saja kita tidak akan terlepas dari bagaimana hasil belajar itu sendiri, dan jika kita membicarakan mengenai hasil belajar maka kita tidak akan pula terlepas dari membicarakan bagaimana prestasi belajar. Apalagi jika hal ini dibahas dalam konteks belajar di lingkungan pendidikan terutama di sekolah.
Untuk mengetahui hasil belajar para peserta didiknya, maka guru akan mengukur hasil belajar para peserta didiknya tersebut dengan melakukan penilaian terhadap hasil belajar mereka misalnya melalui tes, dapat berupa tes pada setiap akhir pembelajaran, setelah selesai membahas satu pokok bahasan atau bab, atau pula dapat berupa tes pada setiap akhir semester atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ujian Akhir Semester (UAS). Kemudian setelah penilaian terhadap hasil belajar ini selesai barulah dapat dilihat sejauh mana prestasi para peserta didik tersebut. Bagaimana pula prestasi belajar para peserta didik ini jika dibandingkan dengan peserta didik yang lain.
Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan prestasi belajar? Bagaimana pengertian prestasi belajar menurut para ahli? Serta bagaimana pengertian prestasi belajar matematika?
“Istilah prestasi berasal dari bahasa Belanda yaitu dari kata “prestatie”, dalam bahasa Indonesia menjadi prestasi yang berarti hasil usaha” (A. Muhamad : 2008). Kemudian M. Syah (dalam A. Muhamad:2008) menjelaskan bahwa ‘Prestasi belajar merupakan taraf keberhasilan murid atau santri dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah atau pondok pesantren dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu.’ Sedangkan menurut A. Muhamad (2008):
Prestasi belajar adalah hasil yang dicapai dari suatu kegiatan atau usaha yang dapat memberikan kepuasan emosional, dan dapat diukur dengan alat atau tes tertentu. Dalam proses pendidikan prestasi dapat diartikan sebagai hasil dari proses belajar mengajar yakni, penguasaan, perubahan emosional, atau perubahan tingkah laku yang dapat diukur dengan tes tertentu.
Adapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995: 787) “Prestasi belajar artinya penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru”. Lalu Menurut V. Altaria, “Prestasi belajar bisa diartikan sebagai keberhasilan dalam belajar.” Dan Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (dalam E. M Ni’mah, 2007 : 24) mengartikan prestasi belajar sebagai ‘Hasil yang telah diperoleh oleh siswa dalam mengikuti program pengajaran pada waktu tertentu dalam bentuk nilai.’
Seperti halnya pengertian belajar, memang pengertian mengenai prestasi belajar pun beraneka ragam. Namun demikian, dari beberapa pendapat yang diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil belajar siswa setelah mempelajari dan memahami materi pelajaran tertentu dalam waktu tertentu yang dapat dinyatakan dalam bentuk skor setelah sebelumnya diukur terlebih dahulu melalui suatu tes hasil belajar. Adapun prestasi belajar ini dapat menunjukkan sejauh mana penguasaan keberhasilan siswa terhadap materi pelajaran tersebut. Dengan catatan pelaksanaan tes hasil belajar dilakukan sejujur mungkin artinya siswa mengerjakan semua soal-soal dalam tes atas dasar mengandalkan kemampuan dirinya sendiri atau tidak dibantu oleh orang lain.
Prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor intern dan faktor ekstern.
Faktor intern merupakan faktor-faktor yang berasal atau bersumber dari peserta didik itu sendiri, sedangkan faktor ekstern merupakan faktor yang berasal atau bersumber dari luar peserta didik. Faktor intern meliputi prasyarat belajar, yakni pengetahuan yang sudah dimiliki oleh siswa sebelum mengikuti pelajaran berikutnya, keterampilan belajar yang dimiliki oleh siswa yang meliputi cara-cara yang berkaitan dengan mengikuti mata pelajaran, mengerjakan tugas, membaca buku, belajar kelompok mempersiapkan ujian, menindaklanjuti hasil ujian dan mencari sumber belajar, kondisi pribadi siswa yang meliputi kesehatan, kecerdasan, sikap, cita-cita, dan hubungannya dengan orang lain. Faktor ekstern antara lain meliputi proses belajar mengajar, sarana belajar yang dimiliki, lingkungan belajar, dan kondisi sosial ekonomi keluarga (Usman, 1995: 12).
Kemudian dalam hubungannya dengan matematika prestasi belajar matematika dapat diartikan sebagai tingkat penguasaan terhadap mata pelajaran matematika yang dicapai siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar matematika dalam waktu tertentu sesuai dengan tujuan yang ditetapkan dan dapat dinyatakan dalam bentuk skor. Selain prestasi yang dicapai oleh siswa merupakan gambaran hasil belajar siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar dalam kurun waktu tertentu, hal ini juga merupakan interaksi antara beberapa faktor yang mempengaruhi hasil prestasi belajar siswa tersebut.
3. Model Pembelajaran Konvensional dan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Three Step Interview.
Menurut R. Widodo (2009) model pembelajaran dapat diartikan sebagai “Kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pengajaran dan para guru dalam merencanakan dan melaksanakan aktifitas belajar mengajar”. Sedangkan menurut A. Suyitno (dalam Hernawati, 2007:22) ‘Model pembelajaran adalah suatu pola atau langkah-langkah pembelajaran tertentu yang diterapkan agar tujuan atau kompetensi dari hasil belajar yang diharapkan akan cepat dapat dicapai dengan lebih efektif dan efisien’.
Model pembelajaran mempunyai makna yang berbeda dari pada pendekatan, strategi, metode, maupun teknik pembelajaran. Menurut A. Sudrajat (2008) dalam artikelnya yang berjudul ‘Pengertian Pendekatan, Strategi, Metode, Teknik, Taktik, dan Model Pembelajaran’ menyatakan bahwa:
Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Sedangkan strategi pembelajaran pada dasarnya masih bersifat konseptual tentang keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu pelaksanaan pembelajaran. Menurut Kemp (dalam Wina Senjaya, 2008) mengemukakan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Lalu, metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Selanjutnya metode pembelajaran dijabarkan ke dalam teknik dan gaya pembelajaran. Dengan demikian, teknik pembelajaran dapat diatikan sebagai cara yang dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik. Sementara taktik pembelajaran merupakan gaya seseorang dalam melaksanakan metode atau teknik pembelajaran tertentu yang sifatnya individual. Kemudian Apabila antara pendekatan, strategi, metode, teknik dan bahkan taktik pembelajaran sudah terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh maka terbentuklah apa yang disebut dengan model pembelajaran. Jadi, model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Adapun posisi hierarkis dari masing-masing istilah tersebut, kiranya dapat divisualisasikan sebagai berikut:
Menurut Nn (2008) Istilah model pembelajaran mempunyai 4 ciri khusus yang tidak dipunyai oleh strategi atau metode pembelajaran, yaitu :
1. Rasional teoritis yang logis yang disusun oleh pendidik.
2. Tujuan pembelajaran yang akan dicapai
3. Langkah-langkah mengajar yang diperlukan agar model pembelajaran dapat dilaksanakan secara optimal.
4. Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat dicapai.
Dalam pelaksanaannya di lapangan, model pembelajaran banyak jenisnya beberapa diantaranya adalah model pembelajaran konvensional, model pembelajaran berbasis pemecahan masalah, dan model pembelajaran kooperatif. Masing-masing model pembelajaran tersebut tentu saja memiliki kelebihan sekaligus kelemahan masing-masing. Oleh karena itu, hal tersebut dapat diatasi dengan cara menerapkan model-model pembelajaran yang sesuai dengan materi yang diajarkan, maka dengan demikian pencapaian tujuan pembelajaran pun diharapkan dapat diperoleh secara maksimal.
Adapun dalam konteks ini yang akan dibahas hanya dua jenis model pembelajaran saja yakni model pembelajaran konvensional dan model pembelajaran kooperatif.
3.1. Model Pembelajaran Konvensional
Sebelum adanya perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia yaitu pada tahun 2004 kurikulum 1994 berubah menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) kemudian dilanjutkan dengan perubahan berikutnya yaitu pada tahun 2006 diubah kembali menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), maka sebelumnya guru menerapkan model pembelajaran yang sering disebut model pembelajaran konvensional. Apakah yang dimaksud dengan model pembelajaran konvensional?
Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar, melalui model pembelajaran yang digunakannya maka guru akan dapat memberikan nilai tambah bagi anak didiknya. Oleh karena itu seorang guru dituntut untuk menguasai berbagai model-model pembelajaran dan dapat memilahnya manakah yang paling sesuai untuk diterapkan pada materi yang diajarkannya. Salah satu model pembelajaran yang sudah sering digunakan oleh guru adalah model pembelajaran konvensional ini.
Menurut P. R. Wallace (dalam Sunarto: 2009) suatu pendekatan pembelajaran dikatakan sebagai pendekatan pembelajaran yang konvensional apabila mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. otoritas seorang guru lebih diutamakan dan berperan sebagai contoh bagi murid-muridnya.
b. Perhatian kepada masing-masing individu atau minat siswa sangat kecil.
c. Pembelajaran di sekolah lebih banyak dilihat sebagai persiapan akan masa depan, bukan sebagai peningkatan kompetensi siswa di saat ini.
d. Penekanan yang mendasar adalah pada bagaimana pengetahuan dapat diserap oleh siswa dan penguasaan pengetahuan tersebutlah yang menjadi tolok ukur keberhasilan tujuan, sementara pengembangan potensi siswa diabaikan.
Sedangkan menurut Sunarto (2009) dalam artikelnya yang berjudul ‘Pembelajaran Konvensional Banyak Dikritik, namun Paling Disukai’ mengemukakan bahwa:
Pendekatan konvensional dapat dimaknai sebagai pendekatan pembelajaran yang lebih banyak berpusat pada guru, komunikasi lebih banyak satu arah dari guru ke siswa, metode pembelajaran lebih banyak menggunakan ceramah dan demonstrasi, dan materi pembelajaran lebih pada penguasaan konsep-konsep bukan kompetensi.
Adapun menurut Djamarah (dalam Isjani: 2009) metode pembelajaran konvensional adalah ‘Metode pembelajaran tradisional atau disebut juga dengan metode ceramah, karena sejak dulu metode ini telah dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan anak didik dalam proses belajar dan pembelajaran’. Dalam pembelajaran metode konvensional ditandai dengan ceramah yang diiringi dengan penjelasan, serta pembagian tugas dan latihan. Kemudian menurut Ruseffendi (1991) ‘Metode ekspositori sama dengan cara mengajar yang biasa (tradisional) kita pakai pada pengajaran matematika. Kegiatan selanjutnya guru memberikan contoh soal dan penyelesaiannya, kemudian memberi soal-soal latihan, dan siswa disuruh mengerjakannya.’
Jadi dalam model pembelajaran konvensional kegiatan guru yang utama adalah menerangkan dan siswa mendengarkan atau mencatat apa yang disampaikan guru. Guru biasanya mengajar dengan berpedoman pada buku teks atau LKS, dengan menggunakan metode ceramah, ekspositori, latihan dan kadang-kadang tanya jawab. Tes atau evaluasi dengan maksud untuk mengetahui perkembangan penguasaan siswa terhadap materi yang diajarkan biasanya jarang dilakukan. Siswa harus mengikuti cara belajar yang dipilih oleh guru dengan patuh mempelajari urutan yang ditetapkan guru, dan kurang sekali mendapat kesempatan untuk menyatakan pendapat. Siswa cenderung belajar individual karena tidak banyak kesempatan untuk bekerja sama dengan temannya dalam rangka saling berbagi, saling membantu, saling mengkoreksi, dan lain-lain. Hal tersebut disebabkan karena dalam model pembelajaran konvensional guru lebih aktif daripada siswa, selain itu tidak ada pembentukan kelompok-kelompok heterogen dalam kegiatan pembelajaran, sehingga cenderung timbul kemungkinan siswa menjadi lebih pasif dan malu untuk menanyakan kepada guru mengenai hal-hal yang dianggapnya masih sulit sedangkan menanyakan kepada temannya yang lain tidak ada kesempatan. Dalam hal ini, otak siswa diibaratkan sebagai botol kosong yang siap untuk diisi oleh air, maka untuk mengisi otak siswa tersebut guru memberikan seluruh ilmu pengetahuan kepada siswa dan siswa harus siap menerima seluruh ilmu pengetahuan yang diberikan kepadanya. Disamping itu, guru jarang mengajar siswa untuk menganalisa secara mendalam tentang suatu konsep dan jarang mendorong siswa untuk menggunakan penalaran logis yang lebih tinggi seperti kemampuan membuktikan atau memperlihatkan suatu konsep. Hal senada ditemukan oleh Marpaung (dalam Isjani: 2009) bahwa ‘Dalam pembelajaran matematika selama ini siswa hampir tidak pernah dituntut untuk mencoba strategi dan cara (alternatif) sendiri dalam memecahkan masalah.’
Dari uraian di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan pembelajaran matematika dengan menerapkan model pembelajaran konvensional adalah suatu kegiatan belajar mengajar yang selama ini kebanyakan dilakukan oleh guru yang di dalamnya aktivitas guru mendominasi kelas dengan metode ekspositori, ceramah dan latihan. Siswa hanya menerima saja apa-apa yang disampaikan oleh guru, begitupun aktivitas siswa untuk menyampaikan pendapat sangat kurang, sehingga siswa menjadi pasif dalam belajar. Adapun dalam pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran ini upaya pengembangan kompetensi siswa masih belum terlalu diperhatikan. Murid hanya menerima saja apapun informasi yang diberikan oleh guru tanpa diberikan kesempatan ataupun diarahkan untuk mengembangkan kemampuannya dalam menganalisis hal-hal yang berhubungan dengan soal-soal yang sedang dipelajari.
3.2. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Three Step Interview
Model pembelajaran kooperatif adalah strategi pembelajaran yang menitikberatkan pada pengelompokkan siswa dengan tingkat kemampuan akademik yang berbeda kedalam kelompok-kelompok kecil. “Kepada siswa diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerja sama dengan baik dalam kelompoknya, seperti menjelaskan kepada teman sekelompoknya, menghargai pendapat teman, berdiskusi dengan teratur, siswa yang lebih pandai membantu yang lebih lemah, dan seterusnya”. (Y. P. Hasanah, 2007:16).
Selain itu, “Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan penting pembelajaran, yaitu hasil belajar akademik, penerimaan terhadap keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial “(Ibrahim, dkk, 2000:7).
Dari pengertian di atas tampak jelas bahwa pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang mendorong siswa untuk berinteraksi dengan teman-temannya dan secara tidak langsung dapat melatih siswa untuk bersosialisasi. Hal ini tampak ketika siswa dibentuk menjadi beberapa kelompok kecil, terdiri dari beberapa siswa yang memiliki kemampuan berbeda dan diharapkan dapat saling berbagi, saling membantu, dan saling bekerja sama selama proses pembelajaran.
Adapun menurut H. Ma’ruf (2008) Beberapa karakteristik pendekatan cooperative learning, antara lain:
1) Individual Accountability, yaitu; bahwa setiap individu di dalam kelompok mempunyai tanggung jawab untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh kelompok, sehingga keberhasilan kelompok sangat ditentukan oleh tanggung jawab setiap anggota.
2) Social Skills, meliputi seluruh hidup sosial, kepekaan sosial dan mendidik siswa untuk menumbuhkan pengekangan diri dan pengarahan diri demi kepentingan kelompok. Keterampilan ini mengajarkan siswa untuk belajar memberi dan menerima, mengambil dan menerima tanggung jawab, menghormati hak orang lain dan membentuk kesadaran sosial.
3) Positive Interdependence, adalah sifat yang menunjukkan saling keter-gantungan satu terhadap yang lain di dalam kelompok secara positif. Keberhasilan kelompok sangat ditentukan oleh peran serta anggota kelompok, karena siswa berkolaborasi bukan berkompetensi.
4) Group Processing, proses perolehan jawaban permasalahan dikerjakan oleh kelompok secara bersama-sama.
Langkah-langkahnya:
1) Guru merancang pembelajaran, mempertimbangkan dan menetapkan target pembelajaran yang ingin dicapai dalam pembelajaran. Guru juga menetapkan sikap dan keterampilan-keterampilan sosial yang diharapkan dapat dikembangkan dan diperlihatkan oleh siswa selama berlangsungnya pembelajaran. Guru dalam merancang materi tugas-tugas yang dikerjakan bersama-sama dalam dimensi kerja kelompok.
2) Dalam aplikasi pembelajaran di kelas, guru merancang lembar observasi kegiatan dalam belajar secara bersama-sama dalam kelompok kecil. Dalam menyampaikan materi, pemahaman dan pendalamannya akan dilakukan siswa ketika belajar secara bersama-sama dalam kelompok. Pemahaman dan konsepsi guru terhadap siswa secara individu sangat menentukan kebersamaan dari kelompok yang terbentuk.
3) Dalam melakukan observasi kegiatan siswa, guru mengarahkan dan membimbing siswa baik secara individual maupun kelompok, dalam pemahaman materi maupun mengenai sikap dan perilaku siswa selama kegiatan belajar.
4) Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mempresentasikan hasil kerjanya. Guru juga memberikan beberapa penekanan terhadap nilai, sikap, dan perilaku sosial yang harus dikembangkan dan dilatihkan kepada para siswa.
Ada beberapa kelemahan dan kelebihan dari setiap model pembelajaran, termasuk model pembelajaran kooperatif. Menurut Muhammad Faiq Dzaki (2009) kelemahan model pembelajaran kooperatif yaitu:
a. Guru khawatir bahwa akan terjadi kekacauan dikelas. Kondisi seperti ini dapat diatasi dengan guru mengkondisikan kelas atau pembelajaran dilakuakan di luar kelas seperti di laboratorium matematika, aula atau di tempat yang terbuka.
b. Banyak siswa tidak senang apabila disuruh bekerja sama dengan yang lain. Siswa yang tekun merasa harus bekerja melebihi siswa yang lain dalam grup mereka, sedangkan siswa yang kurang mampu merasa minder ditempatkan dalam satu grup dengan siswa yang lebih pandai. Siswa yang tekun merasa temannya yang kurang mampu hanya menumpang pada hasil jerih payahnya. Hal ini tidak perlu dikhawatirkan sebab dalam model pembelajaran kooperatif bukan kognitifnya saja yang dinilai tetapi dari segi afektif dan psikomotoriknya juga dinilai seperti kerjasama diantara anggota kelompok, keaktifan dalam kelompok serta sumbangan nilai yang diberikan kepada kelompok.
c. Perasaan was-was pada anggota kelompok akan hilangnya karakteristik atau keunikan pribadi mereka karena harus menyesuaikan diri dengan kelompok. Karakteristik pribadi tidak luntur hanya karena bekerjasama dengan orang lain, justru keunikan itu semakin kuat bila disandingkan dengan orang lain.
d. Banyak siswa takut bahwa pekerjaan tidak akan terbagi rata atau secara adil, bahwa satu orang harus mengerjakan seluruh pekerjaan tersebut. Dalam model pembelajaran kooperatif pembagian tugas rata, setiap anggota kelompok harus dapat mempresentasikan apa yang telah didapatnya dalam kelompok sehingga ada pertanggungjawaban secara individu.
c. Perasaan was-was pada anggota kelompok akan hilangnya karakteristik atau keunikan pribadi mereka karena harus menyesuaikan diri dengan kelompok. Karakteristik pribadi tidak luntur hanya karena bekerjasama dengan orang lain, justru keunikan itu semakin kuat bila disandingkan dengan orang lain.
d. Banyak siswa takut bahwa pekerjaan tidak akan terbagi rata atau secara adil, bahwa satu orang harus mengerjakan seluruh pekerjaan tersebut. Dalam model pembelajaran kooperatif pembagian tugas rata, setiap anggota kelompok harus dapat mempresentasikan apa yang telah didapatnya dalam kelompok sehingga ada pertanggungjawaban secara individu.
Sedangkan kelebihan model pembelajaran kooperatif yaitu:
a. Meningkatkan harga diri tiap individu
b. Penerimaan terhadap perbedaan individu yang lebih besar.
c. Konflik antar pribadi berkurang
d. Sikap apatis berkurang
e. Pemahaman yang lebih mendalam
f. Retensi atau penyimpanan lebih lama
g. Meningkatkan kebaikan budi,kepekaan dan toleransi.
h. Model pembelajaran kooperatif dapat mencegah keagresivan dalam sistem kompetisi dan keterasingan dalam sistem individu tanpa mengorbankan aspek kognitif.
i. Meningkatkan kemajuan belajar(pencapaian akademik)
j. Meningkatkan kehadiran siswa dan sikap yang lebih positif
k. Menambah motivasi dan percaya diri
l. Menambah rasa senang berada di sekolah serta menyenangi temanteman sekelasnya
m. Mudah diterapkan dan tidak mahal
a. Meningkatkan harga diri tiap individu
b. Penerimaan terhadap perbedaan individu yang lebih besar.
c. Konflik antar pribadi berkurang
d. Sikap apatis berkurang
e. Pemahaman yang lebih mendalam
f. Retensi atau penyimpanan lebih lama
g. Meningkatkan kebaikan budi,kepekaan dan toleransi.
h. Model pembelajaran kooperatif dapat mencegah keagresivan dalam sistem kompetisi dan keterasingan dalam sistem individu tanpa mengorbankan aspek kognitif.
i. Meningkatkan kemajuan belajar(pencapaian akademik)
j. Meningkatkan kehadiran siswa dan sikap yang lebih positif
k. Menambah motivasi dan percaya diri
l. Menambah rasa senang berada di sekolah serta menyenangi temanteman sekelasnya
m. Mudah diterapkan dan tidak mahal
Salah satu jenis model pembelajaran kooperatif yang dapat digunakan dalam mata pelajaran matematika adalah model pembelajaran three step interview. Model pembelajaran ini merupakan model pembelajaran yang dikembangkan oleh Dr Spencer Kagan.
Menurut Kagan (dalam Diana dkk, 2005:104):
Pembelajaran three step interview merupakan salah satu tipe pembelajaran kooeratif yang cukup sederhana, dan dapat dilatihkan kepada siswa yang belum terbiasa mengikuti pembelajaran kooperatif. Pada model pembelajaran ini setiap siswa diberikan kesempatan untuk saling berinteraksi dengan saling mewawancarai langsung dan menyampaikan kembali hasil wawancaranya serta dituntut untuk bisa bertanggung jawab terhadap tugus yang diembannya sebagai salah satu pendukung keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran.
Dalam model pembelajaran koperatif tipe three step interview siswa dibagi kedalam beberapa kelompok kecil yang terdiri dari empat orang. Kemudian masing-masing kelompok diperintahkan kembali untuk membuat kelompok yang baru yang terdiri dari hanya dua orang. Adapun kelompok yang berpasangan ini harus berasal dari anggota kelompok yang sama. Setelah itu tahap wawancara pertama dimulai, yaitu dalam setiap pasangan siswa pertama menjadi pewawancara sedangkan siswa yang kedua menjadi pihak yang diwawancara, orang yang mewawancara hendaknya mencatat hal-hal yang dianggap peting yang diungkapkan oleh yang diwawancarai. Kemudian tahap selanjutnya adalah mereka berdua saling bertukar peran, dan setelah itu pada tahap wawancara terakhir masing-masing pasangan bergabung dengan pasangan yang lain yang merupakan anggota kelompoknya semula kemudian mereka saling berbagi mengenai hasil wawancaranya masing-masing.
Selama tahap wawancara ini, siswa diwajibkan memberikan pertanyaan yang hanya berkaitan dengan materi pelajaran yang sedang dipelajari. Misalnya: apa kesulitan anda mengenai materi ini? Bagaimana cara kamu dalam menyelesaikan soal tersebut? Bagaimana pendapat kamu mengenai materi ini? dan sebagainya.
Kemudian setelah ketiga proses wawancara tersebut telah selesai dilaksanakan. Maka selanjutnya guru dapat menyuruh sebagian kelompok untuk melaporkan hasil diskusinya, setelah sebagian besar kelompok selesai membacakan hasil laporannya, guru kembali menjelaskan materi yang masih belum dipahami murid. Setelah itu guru memberikan evaluasi pada akhir pembelajaran.
Untuk lebih jelasnya, berikut pendapat Lipton & Wellman (1998) megenai langkah-langkah model pembelajaran three step interview.
Three step interview is 1. Students work in pairs. One is the interviewer, the other is the interviewee. The interviewer listens actively to the comments and thoughts of the interviewee, paraphrasing key points and significant details. 2. Student pairs reverse roles, repeating the interview process. 3. Each pair then joins another pair to form groups of four. Students introduce their pair partner and share what the partner had to say about the topic at hand.
Kelebihan dari model pembelajaran the three-step interview menurut Heather Coffey (2009) “The three-step interview helps students develop listening and language skills while promoting individual accountability” atau three-step interview membantu siswa mengembangkan kemampuan mendengarkan dan berbahasa selain mempromosikan tanggung jawab individu. Selain itu, siswa yang pada awalnya pasif dalam mengungkapkan pendapatnya mengenai materi yang sedang dipelajari akan menjadi lebih berani mengungkapkan kesulitannya karena yang mewawancarai adalah temannya sendiri.
Adapun kelemahan dari model pembeajaran the three-step interview adalah bahwa siswa yang kurang memahami maksud dari teman yang diwawancarainya mungkin akan sedikit kesulitan dalam menuliskan hasil wawancaranya, kemudian selama proses wawancara dikhawatirkan kelas akan menjadi sedikit gaduh.
G. Metode Penelitian
1. Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi variabel penelitian adalah prestasi belajar siswa sebagai variabel terikat sedangkan model pembelajaran konvensional dan model pembelajaran three step interview sebagai variabel bebas.
2. Desain Penelitian
Dalam penelitian ini sampel terdiri dari dua kelompok yang akan diambil secara acak (random). Adapun sampel yang dimaksud adalah yang pertama kelompok yang dijadikan sebagai kelompok eksperimen yaitu yang diberikan model pembelajaran three step interview sedangkan kelompok yang kedua adalah kelompok kontrol yang diberikan model pembelajaran konvensional.
Sebelum pembelajaran dilaksanakan, kedua kelompok masing-masing diberikan tes awal (pre test). Tes ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal siswa di kedua kelas tersebut, apakah kemampuan awal kelas kontrol dan kelas eksperimen sama ataukah berbeda. Kemudian, setelah kemampuan awal kedua kelas diketahui, baru proses pembelajaran dimulai. Untuk kelas eksperimen diberikan model pembelajaran three step interview sedangkan untuk kelas kontrol diberikan model pembelajaran konvensional. Setelah pelaksanaan pembelajaran seluruhnya dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah dibuat, maka langkah selanjutnya adalah melakukan tes akhir (post test). Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan prestasi belajar siswa antara kelas eksperimen yang diberikan model pembelajaran three step interview dengan kelas kontrol yang diberikan model pembelajaran konvensional.
Berdasarkan uraian di atas maka desain penelitian ini menurut Arikunto (dalam Sudrajat: 2004) dapat digambarkan sebaai berikut:
E O1 X O2
R
K O1 O2
Keterangan:
E = Kelas Eksperimen
K = Kelas Kontrol
X = Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Three Step Interview
O1 = Tes Awal
O1 = Tes akhir
R = Pemilihan Kelompok Secara Random
3. Definisi Operasional
Prestasi belajar siswa merupakan tingkat keberhasilan siswa dalam memahami suatu materi tertentu setelah mempelajari materi tersebut. Prestasi belajar dapat dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh setelah melakukan tes hasil belajar. Tes hasil belajar ini dapat benar-benar menunjukkan prestasi siswa jika dilakukan dengan jujur, artinya siswa mengisi soal-soal tes tanpa bantuan dari orang lain akan tetapi hanya mengandalkan kemampuannya sendiri.
Kemudian model pembelajaran konvensional adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada guru, artinya guru lebih aktif menjelaskan sedangkan murid hanya mendengarkan dan mencatat penjelasan guru tersebut. Model pembelajaran ini biasanya sering menggunakan metode ekspositori ataupun ceramah. Adapun model pembelajaran three step interview adalah suatu model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Kagan, dalam pembelajaran ini terdapat tiga langkah wawancara yang dilakukan oleh siswa, yaitu 1. siswa pertama sebagai pewawancara mewawancarai siswa kedua sebagai narasumber, 2. bertukar peran, 3. bergabung dengan satu pasangan lain dan saling berbagi mengenai hasil wawancara mereka.
4. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini instrumen pengumpulan data yang akan digunakan adalah tes. Adapun tes yang akan digunakan merupakan tes berupa essay. Menurut Nana Sudjana (2001:35):
tes sebagai alat penilaian adalah pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada siswa untuk medapat jawaban dari siswa dalam bentuk lisan (tes lisan), dalam bentuk tulisan (tes tulisan),atau dalam bentuk perbuatan (tes tindakan). Tes pada umumnya digunakan untuk menilai dan mengukur hasil belajar siswa, terutama hasil belajar kognitif berkenaan dengan penguasaan bahan pengajaran sesuai dengan tujuan pendidikan dan pengajaran. Sungguhpun emikian, dalam batas tertentu tes dapat pula digunakan untuk mengukur atau menilai hasil belajar bidang afektif dan psikomotoris.
Adapun soal tes yang diberikan baik untuk tes awal maupun untuk tes akhir adalah sama. Sebelum soal ini diberikan kepada siswa sebelumnya soal ini akan dikonsultasikan dahulu dengan dosen pembimbing, kemudian diuji dahulu validitas, reliabilitas, daya pembeda serta indeks kesukaran soal baik secara keseluruhan maupun untuk tiap butir soal.
“Validitas adalah ketetapan alat penilaian terhadap konsep yang dinilai sehingga betul-betul menilai apa yang seharusnya dinilai” (Sudjana, 2001: 12).
Untuk menentukan koefisien validitas ada 3 macam cara yaitu:
a) korelasi product moment menggunakan simpangan
b) Korelasi product moment menggunakan angka kasar (raw score)
c) Korelasi metode rank (rank method correlations)
Untuk menentukan validitas, baik validitas soal maupun validitas tiap butir soal dalam penelitian ini akan menggunakan cara angka kasar (raw score). Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :
Kriteria validitas :
0,80 < rxy ≤ 1,00 : validitas sangat baik
0,60 < rxy ≤ 0,80 : validitas baik
0,40 < rxy ≤ 0,60 : validitas sedang
0,20 < rxy ≤ 0,40 : validitas kurang
0,00 < rxy ≤ 0,20 : validitas sangat kurang
rxy ≤ 0,00 : tidak valid
“Reliabilitas alat penilaian adalah ketetapan atau keajegan alat tersebut dalam menilai apa ang dinilainya. Artinya kapanpun alat penilaian tersebut digunakan akan memberikan hasil yang relatif sama” (Sudjana, 2001: 16).
Untuk mengukur reliabilitas soal maka yang akan digunakan adalah rumus alpha, yaitu:
Keterangan:
n = banyaknya butir soal
si2 = jumlah variansi skor setiap item
st2 = variansi total
Kriteria reliabilitas :
0,80 < r11 ≤ 1,00 : reliabilitas sangat tinggi
0,60 < r11 ≤ 0,80 : reliabilitas tinggi
0,40 < r11 ≤ 0,60 : reliabilitas sedang
0,20 < r11 ≤ 0,40 : reliabilitas rendah
r11 ≤ 0,20 : reliabilitas sangat rendah
Daya Pembeda (DP) butir soal adalah “seberapa jauh kemampuan butir soal tersebut mampu membedakan antara siswa yang dapat menjawab butir soal tersebut dengan benar dengan siswa yang menjawab butir soal tersebut tapi jawabannya salah” (Moersetyo: 2009).
Rumus yang digunakan adalah :
DP= atau DP=
Keterangan:
JBA = Jumlah siswa kelompok atas yang menjawab soal benar
JBB = Jumlah siswa kelompok bawah yang menjawab soal benar
JSA = Jumlah siswa kelompok atas
JSB = Jumlah siswa kelompok bawah
Kriteria:
0,70 < DP ≤ 1,00 : sangat baik
0,60 < DP ≤ 0,70 : baik
0,40 < DP ≤ 0,60 : cukup
0,20 < DP ≤ 0,40 : jelek
DP ≤ 0,20 : sangat jelek
Untuk mengukur Indeks Kesukaran (IK) digunakan rumus:
IK= atau IK= atau IK=
Kriteria:
IK = 1 : sangat mudah
0,70 < IK ≤ 1,00 : mudah
0,30 < IK ≤ 0,70 : sedang
0,00 < IK ≤ 0,30 : sukar
IK ≤ 0,00 : terlalu sukar
Adapun untuk menguji validitas, reliabilitas, indeks kesukaran, dan daya pembeda soal, dilakukan dengan memberikan soal ini untuk dikerjakan oleh kelas lain yang sudah mempelajari materi pelajaran yang akan diberikan kepada kelas kontrol dan eksperimen. Jika soal yang dibuat telah memenuhi kriteria soal yang baik maka soal baru dapat diujikan kepada kelas kontrol maupun kelas eksperimen.
5. Teknik Analisis Data
Dalam penganalisisan data yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan, maka pertama adalah menguji normalitas data hasil pretest. Pengujian normalitas data ini diperlukan untuk menentukan jenis statistik apa yang nantinya akan dipakai untuk menguji hipotesis apakah kemampuan awal siswa kelas kontrol sama dengan kemampuan awal siswa kelas eksperimen. Untuk menguji normalitas data baik untuk kelas eksperimen maupun kelas kontrol dalam penelitian ini menggunakan uji chi kuadrat. Hal ini dilakukan karena data hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk data interval.
Setelah dilakukan pengujian, jika baik data untuk kelas kontrol maupun kelas eksperimen sama-sama normal maka langkah selanjutnya adalah dengan menerapkan uji statistik parametrik Karena dalam penelitian ini data merupakan sampel independent, yaitu “sampel yang bebas atau tidak saling mempengaruhi diartikan sebagai dua buah sampel dengan subjek yang berbeda, mengalami dua perlakuan atau pengukuran yang berbeda, seperti subjek A mendapat perlakuan I dan subjek B mendapat perlakuan II. (R. Sundayana, 2009:36)” maka uji statistik parametrik yang selanjutnya dilakukan adalah uji t independent. Namun, jika salah satu data atau keduanya tidak berdistribusi normal maka langkah pengujian berikutnya adalah pengujian dengan menggunakan statistik non parametrik dalam hal ini dengan menggunakan uji Mann Whitney. Baik Uji Mann Whitney maupun uji t independent bertujuan untuk menguji hipotesis yaitu apakah kemamuan awal siswa kelas kontrol sama dengan kemampuan awal siswa kelas eksperimen? Namun sebelum menguji dengan uji t harus diuji dahulu homogenitas variansinya, jika data berdistribusi normal dan kedua variansi homogen maka dilanjutkan dengan uji t tapi jika data berdistribusi normal dan kedua variansi tidak homogen maka dilanjutkan dengan uji t’.
Jika kemampuan awal siswa kelas kontrol ternyata tidak sama dengan kemampuan awal siswa kelas eksperimen, maka harus dilakukan uji Gain setelah hasil post test diperoleh. Gain adalah selisih antara nilai post test dengan pretest. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
a) tentukan gain kelas eksperimen
b) tentukan gain kelas kontrol.
c) buat distribusi frekuensi gain masing-maing kelas. Kemudian uji normalitasnya.
d) jika ternyata keduanya berdistribusi normal, maka dilanjutkan dengan tes homogenitas.
e) jika kedua variansinya homogen dilanjutkan dengan uji t.
f) jika salah satu atau kedua distribusi tersebut tidak normal, maka digunakan statistik nonparametrik, yaitu: Mann Whitney.
g) jika kedua distribusi tersebut normal tapi tidak homogin, maka dilanjutkan dengan tes t’.
Kemudian setelah diketahui kemampuan awal siswa kedua kelas, maka apabila proses pembelajaran telah selesai dilakukan dan hasil postest telah diperoleh, selanjutnya untuk menguji hasil postest juga dilakukan hal yang sama. Adapun hipotesis yang diuji pada hasil postest yaitu hipotesis yang diajukan penulis pada penelitian ini.
6. Rumus Yang Akan Digunakan
6.1 Rumus Chi Kuadrat
Langkah-langkah uji chi kuadrat adalah sebagai berikut :
a) Menetukan nilai rata-rata dan simpangan bakunya.
b) Mengurutkan data dari yang terkecil ke yang terbesar.
c) Mengubah data diskrit (data mentah) menjadi data interval dengan cara:
membuat tabel normalitas data sebagai berikut:
d) Menetukan nilai chi kuadrat hitung.
e) Menentukan nilai chikuadrat tabel: dengan k= banyaknya kelas interval.
f) Krtiteria pengujian: jika maka data beristribusi normal.
Keterangan:
fi = frekuensi (banyaknya data)
Ei = (luas Zi) x ()
6.2 Rumus Uji Homogenitas
Langkah-langkah uji homogenitas :
a) menentukan nilai Fhitung dengan rumus :
b) menetukan nilai F tabel dengan rumus :
c) Kriteria Uji
Jika Fhitung < Ftabel dengan maka varians homogen.
6.3 Rumus Uji t
Langkah-langkah uji t:
a) Merumuskan hipotesis, baik Ho maupun Ha.
b) Menghitung nilai thitung
c) Menentukan nilai ttabel =
d) Kriteria pengujian hipotesis:
Jika : - ttabel ≤ thitung ≤ ttabel maka Ho diterima.
6.4 Rumus Uji t’
Langkah-langkah uji t’:
a) Merumuskan hipotesis, baik Ho maupun Ha.
b) Menghitung nilai t’hitung
c) Kriteria pengujian hipotesis , dengan
6.5 Rumus Uji Mann Whitney
Langkah-langkah uji t’:
a) Merumuskan hipotesis, baik Ho maupun Ha.
b) Menghitung nilai U dan . Adapun rumus nilai U dan adalah:
keterangan:
n1 = jumlah data kelompok pertama
n2 = jumlah data kelompok kedua
R = jumlah ranking kelompok
c) Menghitung rata-rata nilai kedua kelompok dengan rumus
d)Menentukan nilai T, dengan rumus , t adalah jumlah nilai yang sama.
e)Menghitung deviasi standar gabungan, dengan rumus:
f) menghitung transformasi Z dengan rumus:
, dengan U yang digunakan adalah yang paling kecil diantara U dan .